“Pemuda” dalam Ekspektasi, Persepsi, dan Generasi

Designed by Freepik

“Di zaman saya dahulu lebih susah, tidak seperti anak muda saat ini…”

“Anak muda sekarang sudah serba ada teknologi, semua harusnya lebih mudah…”

“Anak muda, harus kerja lebih keras!”

“Anak muda sekarang tidak mencerminkan Sumpah Pemuda…”

Anak muda yang ini, anak muda yang itu. Kalau dipikir-pikir, banyak sekali ya yang diekspektasikan kepada “pemuda”. Padahal, pemuda saat ini sudah tidak lagi hidup di era penjajahan yang harus melawan penjajah dengan bambu runcing. Tentu, era pemuda saat ini, tidak lagi bisa dibandingkan dengan “perjuangan” pemuda di masa itu. Alih-alih berperang dengan bambu runcing, pemuda saat ini “berperang” secara maya dengan tubiran netizen di berbagai platform media sosial.

Lalu, bagaimana pemuda saat ini memaknai hari sumpah pemuda? Sebelum membahas secara mendalam tentang hal itu, mari kita ulas kembali sejarah hari sumpah pemuda.

194 tahun yang lalu tepatnya 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, Soegondo Djojopoespito memimpin kongres yang menghasilkan rumusan ikrar “Sumpah Pemuda”.Dasar dari penyelenggaraan Kongres Sumpah Pemuda II adalah inisiatif dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia. Kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dengan tiga kali rapat. 

Pada rapat pertama, diselenggarakan di Gedung Katholieke Jongenlinger Band (KJB), Lapangan Banteng. Muhammad Yamin menyampaikan lima faktor yang dapat memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan. 

Rapat kedua dilaksanakan di Gedung Oost-Java Bioscoop. Rapat ini berfokus pada bahasan pendidikan. Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro membahas tentang hak anak dalam mendapatkan pendidikan, dengan keseimbangan pendidikan di sekolah dan di rumah.

Rapat ketiga berada di Gedung Indonesische Clubhuis Kramat, Sonario sebagai pembicara menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan adalah dasar-dasar mendidik anak untuk disiplin dan mandiri, hal tersebut yang dibutuhkan dalam perjuangan. Sedikit berbeda dengan Sonario, Ramelan berpendapat bahwa gerakan kepanduan tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan nasional. 

Pada dasarnya, Sumpah Pemuda hadir untuk menyatukan para pemuda yang dulunya berjuang dengan komunitas kecil di daerahnya. 

Lantas, apa fenomena yang terjadi di kalangan pemuda saat ini?

  •  Globalisasi dan Nasionalisme

Banyak asumsi di media sosial mengatakan bahwa tingkat nasionalisme pemuda saat ini makin terkikis. Persepsi bahwa gaya hidup, hiburan, hingga makanan kesukaan yang mulai terakulturasi budaya luar mengkerdilkan nasionalisme para pemuda. 

Misalnya, apakah menyukai musik Taylor Swift lantas membenci lagu-lagu Tulus? Tidak. Nasionalisme tidak dapat diukur dengan siapa penyanyi kesukaanmu atau apa kamu memakan roti atau nasi saat sarapan? Ada banyak cara mencintai bangsa Indonesia di setiap Individunya.  

Ada pemuda yang merantau ke kota dan kembali ke desa untuk membangun desa. Ada pula pemuda yang menjadi relawan saat bencana alam terjadi. Nasionalisme mereka tidak dapat dihitung hanya berdasarkan siapa musisi kesukaannya? Tapi, kontribusi mereka nyata dan sama berharganya dengan pemuda lainnya. 

  • Singgahsana

Banyak kisah sukses dan inspiratif pemuda di generasi milenial hingga generasi Z. Salah satunya adalah Dea Valencia, perempuan muda asal Semarang yang menekuni dan memperkenalkan Batik Kultur hingga ke luar negeri. Seperti poin nomor satu, cara Dea mencintai Indonesia adalah dengan kuliah di luar negeri dan kembali untuk menekuni tradisi lokal di daerahnya. Selain itu, Dea juga mempekerjakan masyarakat disabilitas sebagai karyawan. 

Namun, tidak dapat kita pungkiri bahwa dari 100 pemuda, tidak semua pemuda menjadi sosok sukses dan inspiratif. Lantas bukan berarti mereka pantas mendapat teguran bahwa “kamu tidak bekerja keras”. 

Kerja keras bukan satu-satunya cara untuk sukses. Majunya perkembangan zaman selaras dengan kompleksnya permasalahan sosial. Jika dahulu orang tua kita dapat membeli rumah dengan cicilan hingga 5 tahun, saat ini pemuda dihadapkan dengan realita untuk menanggung cicilan 10 hingga 20 tahun untuk membeli rumah jika mereka memiliki gaji sesuai kebijakan daerah. 

Apa yang dituntutkan kepada para pemuda juga tidak selaras dengan peluang yang diterimanya. Kita tidak dapat menutup mata bagaimana banyak pemuda di usia 18-25 tahun bekerja dengan hanya dibayarkan pengalaman. Saat bersuara pun, masih terhalang oleh generasi yang sedang duduk di singgahsana, generasi yang mengatakan bahwa pemuda Indonesia kurang bekerja keras. 

“Saatnya yang muda yang bergerak”

Kapan? Saat KAMI sudah tidak lagi muda?

Perjalanan membangun sebuah bangsa memang melibatkan banyak pemuda, namun tidak berfokus hanya pada pemuda. Semua generasi mempunyai tanggung jawab dalam memberikan kesempatan dan dukungan untuk menjadi bangsa yang lebih maju.

Artikel ini ditulis oleh Wulan Anggit Utami (Pegiat Akta Bumi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top